Maba,abarce -Di tengah semangat
efisiensi anggaran yang digaungkan pemerintah daerah, justru muncul alokasi
fantastis yang mencederai akal sehat publik. Pemerintah Kabupaten Halmahera
Timur menganggarkan Rp 7.775.840.000 hanya untuk belanja media.Ilustrasi
Anggaran ini tersebar ke dalam 20
item belanja, mulai dari jurnal, surat kabar, hingga kontrak kerja sama dengan
media online. Semuanya melekat pada Bagian Administrasi Umum dan Protokoler
Sekretariat Daerah Haltim dan bersumber dari APBD 2025.
Ironisnya, saat masyarakat masih
bergelut dengan akses jalan rusak, fasilitas pendidikan minim, dan layanan kesehatan,
pemerintah dan wakil rakyat justru sibuk menyetujui anggaran jumbo untuk hal
yang tidak menyentuh langsung kehidupan warga.
Fakta ini menjadi lebih
mengkhawatirkan ketika Komisi II DPRD Halmahera Timur, yang seharusnya
mengawasi dan menyaring usulan anggaran, justru memilih bungkam. Mereka menolak
menjawab pertanyaan wartawan soal pembahasan dan persetujuan anggaran tersebut.
Ketua komisi, M. Sahbudi Darmawan, bahkan tidak memberikan pernyataan saat dikonfirmasi.
Anggota lainnya pun hanya merujuk pada pernyataan Ketua DPRD, alih-alih
menjelaskan posisi mereka secara utuh.
Di tengah gelombang kritik, justru sejumlah
oknum wartawan pun ikut bungkam. Tidak terdengar suara kritis yang biasanya
nyaring menyuarakan penyelewengan. Mungkinkah kontrak kerja sama media ikut
menjadi rem pada lidah mereka? Bisa jadi, mereka takut kontraknya tergoyah bila
terlalu kritis.
Publik tentu wajar curiga. Ada
dugaan kuat bahwa proses penganggaran ini tidak hanya disetujui, tetapi diatur
bersama oleh pihak eksekutif dan legislatif. Dugaan main mata ini semakin sulit
disangkal ketika anggaran besar ini bisa melenggang tanpa koreksi berarti dari
DPRD.
Kita tidak anti pada kerja sama
media. Tapi dalam situasi fiskal daerah yang penuh keterbatasan, pengalokasian
anggaran media sebesar itu jelas mencederai prinsip efisiensi dan
akuntabilitas. Seharusnya anggaran sebesar ini dialihkan untuk infrastruktur
dasar, pengentasan kemiskinan, atau subsidi pendidikan dan kesehatan.
DPRD sebagai lembaga perwakilan
rakyat tidak bisa terus-menerus bermain aman dalam diam. Mereka harus
menjelaskan kepada publik mengapa anggaran ini disetujui, dan apa dasar
pertimbangannya. Transparansi dalam setiap proses penganggaran adalah kunci
menjaga kepercayaan rakyat.
Begitu pula bagi insan pers. Profesi
ini tak akan pernah mulia jika tunduk pada kekuasaan dan aliran anggaran. Media
yang bebas dan independen adalah benteng terakhir demokrasi. Jika benteng ini
ambruk, maka masyarakat akan benar-benar kehilangan suara.
Kini, pertanyaannya sederhana: apakah DPRD Halmahera Timur dan para jurnalis lokal berani berdiri tegak di hadapan rakyat, atau terus berlindung di balik amplop dan jaringan kekuasaan.
Jika tidak segera dibenahi, anggaran
7,7 miliar ini bisa menjadi simbol betapa rapuhnya integritas lembaga
legislatif dan kebebasan pers di daerah kita.