Ternate, ABARCE.COM - Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali dipertanyakan setelah seorang oknum camat di Ternate Tengah, Kota Ternate, diduga terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Camat yang diketahui bernama Fahmi B. Amin ini terlihat aktif dalam penjemputan pasangan calon (paslon) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Ternate, M. Tauhid Soleman dan Nasir Abubakar, pada Jumat (23/08/2024).
Keterlibatan Fahmi terekam jelas dalam sebuah video yang viral di media sosial. Dalam video tersebut, Fahmi tampak bersorak gembira dan ikut dalam konvoi penjemputan paslon tersebut.
Dengan mengenakan kaos hitam dan peci putih, Fahmi terlihat berbaur dengan ribuan pendukung Tauhid-Nasri, bahkan sempat menunjuk bendera koalisi partai pendukung paslon sambil berteriak, "Weh, yang bawa bendera ini gagah (bagus)!"
Unggahan video ini pertama kali dibagikan oleh akun Facebook bernama 'Wiwin' dan segera menjadi perbincangan publik.
Banyak pihak yang menilai tindakan Fahmi sebagai pelanggaran serius terhadap netralitas ASN, terutama menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Ternate.
Fahmi seolah menunjukkan keberpihakannya, yang bertentangan dengan kewajiban ASN untuk tidak terlibat dalam politik praktis.
Padahal, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Agus Pramusinto, telah mengingatkan pentingnya netralitas ASN dalam Rakor yang digelar pada 6 Februari 2024 lalu.
Agus dengan tegas menyatakan bahwa ASN harus menjaga proses pemilihan umum tetap bersih dari intervensi politik untuk mewujudkan Indonesia Emas. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa peringatan tersebut tidak digubris oleh sebagian ASN.
Merespons viralnya video tersebut, Ketua Bawaslu Kota Ternate, Kifli Sahlan, mengaku akan menindaklanjuti temuan ini sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Temuan tersebut akan ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan," tegas Kifli singkat saat dikonfirmasi.
Kasus ini menambah daftar panjang pelanggaran netralitas ASN yang terjadi di berbagai daerah menjelang Pilkada.
Jika tidak ada tindakan tegas, pelanggaran semacam ini dikhawatirkan akan merusak kredibilitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia.